BACAJUGA: Pengamat Bongkar Kerugian Jika Partai Politik di RI Makin Banyak. "Keuntungannya jelas banyak. Publik jadi punya pilihan dan potensi masyarakat untuk terwakili oleh gagasan yang dibawa oleh salah satu visi misi partai semakin besar," ujar Kunto kepada GenPI.co, Senin (11/10). Oleh sebab itu, menurut Kunto, pemilih jadi benar-benar Dilansirdari Encyclopedia Britannica, keadaan kehidupan politik dan pemerintahan indonesia pada awal kemerdekaan masih belum stabil. akibat dikeluarkannya maklumat pemerintah 3 november 1945, di indonesia akhirnya muncul banyak partai politik. sistem banyak partai sangat tidak menguntungkan bagi indonesia karena pemerintah yang stabil tidak dapat diwujudkan. Pengaturanlebih lanjut dapat dikaji melalui Al-Qur'an Surat An-Nisa ayat 92: "dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang uQJ9V. Jakarta, - Sistem Pemilihan Umum Pemilu Indonesia dinilai masih membutuhkan banyak perbaikan karena dianggap tidak mendukung upaya penguatan pemerintahan sistem presidensial dan membangun checks and balances. Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia UI, Valina Singka Subekti menilai, ada sejumlah hal yang harus diperhatikan dalam penerapan sistem pemilu dan penguatan sistem presidensial di Indonesia. "Pertama, sistem pemilu harus mampu meningkatkan derajat representasi dan akuntabilitas anggota DPR," kata Valina Singka Subekti dalam rangkaian acara "Kolaborasi Dua Guru Besar Mengabdi Negeri", Senin 14/10/2019 di Jakarta. Kedua, Sistem pemilu harus mampu menghasilkan sistem kepartaian dengan jumlah partai sederhana. Ketiga, sistem pemilu harus mudah diaplikasikan dan berbiaya rendah serta mampu memutus mata rantai praktek politik transaksional. Sistem pemilu saat ini dianggapnya terlalu berpusat pada calon atau candidacy centered dan perlu direkayasa kembali menjadi sistem pemilu yang berpusat pada partai atau party centered. Valina Singka Subekti mengusulkan sistem pemilu proporsional tertutup dipertimbangkan kembali sebagai salah satu alternatif untuk digunakan dalam pemilu serentak 2024. "Perubahan sistem pemilu dapat efektif mencapai tujuan tersebut di atas apabila diikuti reformasi internal kepartaian dengan membangun sistem demokrasi internal partai yang terukur, transparan dan akuntabel disertai penguatan ideologi partai, termasuk pendanaan partai dibiayai oleh negara dengan APBN," kata Valina Singka Subekti. Menurutnya, penyederhanaan kepartaian dan perubahan sistem pemilu serta penguatan sistem demokrasi internal partai menjadi kebutuhan mendesak dalam konteks presidensialisme Indonesia. Perubahan ini akan menjadi efektif apabila diiiringi pendidikan politik yang mencerahkan supaya rakyat memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Demokrasi perwakilan dalam sistem pemerintahan presidensial selain memerlukan kehadiran sistem pemilu yang kompatibel, juga kehadiran anggota parlemen yang jujur dan amanah dan masyarakat sipil yang kuat. Valina Singka Subekti mengusulkan sistem pemilu yang berpusat pada partai seperti dimaksudkan konstitusi Pasal 22 E UUD 1945, yaitu sistem pemilu proporsional tertutup. Di antaranya melalui upaya memperketat persyaratan partai politik peserta pemilu hingga memperkecil besaran daerah pemilihan dan alokasi kursi dari 3-12 menjadi 3-8. Dengan semakin kecil besaran dapil dan semakin sedikit alokasi kursi yang diperebutkan di setiap dapil, maka akan semakin sulit partai memenangkan kursi. Selain itu juga perlu untuk meningkatkan ambang batas parlemen menjadi 5 persen. "Usulan desain sistem pemilu tersebut tetap dilaksanakan dalam kerangka penyelenggaraan pemilu serentak lima kotak. Rekomendasi agar tetap mempertahankan penyelenggaraan pemilu serentak lima kotak seperti yang telah dilaksanakan pada Pemilu Serentak 2019 dilatarbelakangi oleh alasan efisiensi dan efektivitas," ujar Valina Singka Subekti. Menurutnya, dengan pertimbangan digunakan sistem pemilu yang lebih sederhana dari sisi teknis dengan ukuran dapil 3-8 dan dukungan E-Counting atau E-Recap, maka mempertahankan desain pemilu serentak lima kotak yang dibarengi dengan reformasi kepartaian pada saatnya nanti dapat mengurangi jumlah partai. "Dengan rekayasa desain sistem pemilu yang demikian diharapkan partai politik menjadi lebih kuat, lebih aspiratif, dan akuntabel sehingga efektivitas penyelenggaraan pemerintahan presidensial dapat terwujud," kata Valina Singka Subekti. Dia mengingatkan, sistem kepartaian sederhana dari segi jumlah sangat diperlukan untuk memperkuat pemerintahan presidensial dan untuk membangun checks and balances. Selama ini, berbagai upaya telah dilakukan untuk menyederhanakan sistem kepartaian melalui rekayasa sistem pemilu sejak 2004, 2009, 2014 dan 2019, namun belum mampu menunjukkan hasil yang signifikan. Saat ini diterapkannya instrumen Parliamentary Threshold PT dan persyaratan partai peserta pemilu yang lebih ketat belum bisa menekan jumlah parpol. Buktinya, jumlah partai politik masih tergolong sebagai multipartai ekstrem dengan jumlah lebih dari lima partai di DPR. Bahkan berdasarkan hasil Pemilu Serentak 2019 dengan beragam perubahan unsur sistem pemilu di dalamnya, jumlah partai politik terpilih masih cukup banyak, yaitu sembilan partai politik. Masalah lain berkaitan dengan partai politik yang pada akhirnya mengaburkan semangat penguatan sistem presidensial adalah fenomena oligarki dalam partai politik. Setiap menjelang pemilu, bermunculan partai baru yang didominasi kaum pemilik modal. Dengan sumber daya ekonomi yang dimiliki, kelompok oligarki memasuki wilayah kekuasaan politik melalui partai sebagai media paling strategis untuk meraih kekuasaan politik. Tidak heran menyatunya kekuasaan ekonomi dan politik pada satu tangan akan semakin memperkuat dominasi oligarki, membuat partai dan DPR semakin jauh dari harapan rakyat dan mengurangi kualitas demokrasi. Selain itu, dampak negatif lainnya dari sistem pemilu saat ini adalah hadirnya politik berbiaya tinggi high cost politics dan menguatnya politik uang money politics. Sistem pemilu langsung dengan model kompetisi terbuka pada satu sisi dinilai demokratis. Namun pada sisi lain menutup peluang kader partai dan memberi kesempatan masuknya kader Instan dengan modal sosial lebih kuat seperti dana besar dan popularitas. Di sisi lain, pemilih Indonesia yang pada umumnya kurang memperoleh pendidikan politik telah menjadi objek dari praktek politik transaksional pada pemilu legislatif 2014 dan 2019. Praktek politik uang ini tidak lagi tertutup atau malu-malu, tetapi terbuka dan bahkan terstruktur dan sistematis. Rangkaian acara "Kolaborasi Dua Guru Besar Mengabdi Negeri" digelar setelah pasangan suami istri, masing-masing Prof. Dr. dr. Imam Subekti dan Prof. Dr. dr Valina Singka Subekti dikukuhkan menjadi guru besar tetap UI. Prof. Dr. dr. Imam Subekti dikukuhkan sebagai profesor bidang ilmu kedokteran dan Prof. Dr. dr Valina Singka Subekti dikukuhkan menjadi guru besar ilmu politik. Sumber Suara Pembaruan Saksikan live streaming program-program BTV di sini Pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan disebabkan 1. Pemerintah tidak memiliki kestabilan karena banyknya partai membuat tidak adanya sebuah partai yang mampu mendukung pemerintahan dan harus melalui Pemerintah terkadang ragu dan banyak program yang kurang efektif3. Sistem multi partai cenderung lamban dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi4. Menurunkan fungsi nasionalisme terhadap negara SISTEM kepartaian di Tanah Air dinilai mulai menunjukan gejala yang stabil pascareformasi. Hal itu terindikasi dari volatilitas pemilu ke pemilu terus menurun. Pemilih mulai ajeg dengan partai-partai yang ada dan partai baru pun cenderung tak laku. "Sistem kepartaian di Indonesia mengalami stabilisasi saat ini. Indikatornya volatilitas pemilu. Dari 1999 sampai dengan 2019 volatilitas pemilu kita menurun tajam," kata dosen ilmu politik Universitas Paramadina Djayadi Hanan dalam diskusi daring yang digelar Populi Center, Kamis 25/11. Menurut Djayadi, volatilitas pemilu atau perpindahan suara pemilih dari satu partai ke partai lain dan dari pemilu ke pemilu terus turun. Menurut hitungannya menggunakan Indeks Pedersen, volatilitas pemilu pada 1999 ke 2004 sebesar 25,3%, kemudian dari 2004 ke 2009 sebesar 29,5%. Jumlah itu terus menurun dari 2009 ke 2014 menjadi 19,9%. Pada pemilu 2014 ke pemilu 2019, volatilitasnya merosot menjadi 12,7%. "Penurunan volatilitas pemilu menunjukkan adanya gejala stabilisasi sistem kepartaian. Artinya orang yang sama cenderung memilih partai yang sama dari pemilu ke pemilu lain. Ada kecenderungan seperti itu," ujarnya. Djayadi mengatakan indikator lain ialah jumlah partai yang efektif effective number of parlamentary parties/ENPP. Menurutnya, partai di parlemen saat ini sembilan parpol secara efektif berdasarkan ENPP jumlahnya tidak sebanyak itu karena dari perbedaan kekuatan. Ia mengatakan ENPP di Indonesia sejak 2004 sampai 2009 hanya berkisar enam sampai delapan partai. "Jadi sebenarnya real number political parties yang kita miliki di Indonesia itu antara enam sampai delapan," ucapnya. Baca juga Gus Choi Nahdlatul Ulama Tak Boleh Jadi Kuda Troya Partai Politik Indikator berikutnya, menurut Djayadi, partai baru semakin tak populer. Jumlah pemilih yang menjatuhkan hati kepada partai baru semakin sedikit dari pemilu ke pemilu. Pada 2004, ada 12,3% pemilih yang memilih partai baru. Jumlah itu menurun pada 2009 sebanyak 17,3% dan pada 2014 6,7%. Pemilih partai baru pada pemilu 2019 semakin merosot hanya 7,2%. "Artinya masyarakat kita tidak tertarik dengan partai-partai baru. Pilihannya cenderung sudah stabil ke partai-partai yang sudah ada. Tentu perlu digali lebih dalam apa penyebabnya," ujarnya. Meski ada gejala stabilisasi kepartaian, Djayadi menyoroti di saat yang sama anehnya kedekatan pemilih dengan partai party identification juga rendah. Padahal, lanjut Djayadi, rendahnya kedekatan itu bisa menunjukan kepartaian yang tidak stabil. "Kita tahu semua party identification rendah itu menunjukkan kepartaian tidak stabil. Kemungkinan sistem kepartaiannya tidak berakar tapi stabil," ucapnya. Sementara itu, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti mendorong penyederhanaan sistem multipartai yang saat ini berlaku. Menurutnya, kondisi itu membuat koalisi terlalu besar sehingga sistem presidensial belum begitu efektif. Dia menyarankan multipartai disederhanakan paling banyak lima atau enam partai sehingga ketika pemilu hanya ada dua koalisi. "Saat ini sisa partai yang di luar pemerintahan itu tidak kedengaran suaranya dan itu salah satu faktor yang menyebabkan pemerintahan presidensial kita belum efektif sepenuhnya. Karena dalam pembuatan kebijakan itu harus mencerminkan kehendak rakyat tidak hanya yang memilih presiden tapi juga oposisi," ujarnya. OL-7 Keadaan kehidupan politik dan pemerintahan Indonesia pada awal kemerdekaan masih belum stabil. Akibat dikeluarkannya maklumat pemerintah 3 november 1945, di Indonesia akhirnya muncul banyak partai politik. Sistem banyak partai sangat tidak menguntungkan bagi Indonesia karena? terlalu banyak partai politik yang menjadi peserta Pemilu sulit membangun partai politik yang kuat dan didukung oleh rakyat pemerintah yang stabil tidak dapat diwujudkan peluang terjadinya pertentangan antar partai semakin terbuka Semua jawaban benar Jawaban yang benar adalah C. pemerintah yang stabil tidak dapat diwujudkan. Dilansir dari Ensiklopedia, keadaan kehidupan politik dan pemerintahan indonesia pada awal kemerdekaan masih belum stabil. akibat dikeluarkannya maklumat pemerintah 3 november 1945, di indonesia akhirnya muncul banyak partai politik. sistem banyak partai sangat tidak menguntungkan bagi indonesia karena pemerintah yang stabil tidak dapat diwujudkan. [irp] Pembahasan dan Penjelasan Menurut saya jawaban A. terlalu banyak partai politik yang menjadi peserta Pemilu adalah jawaban yang kurang tepat, karena sudah terlihat jelas antara pertanyaan dan jawaban tidak nyambung sama sekali. Menurut saya jawaban B. sulit membangun partai politik yang kuat dan didukung oleh rakyat adalah jawaban salah, karena jawaban tersebut lebih tepat kalau dipakai untuk pertanyaan lain. [irp] Menurut saya jawaban C. pemerintah yang stabil tidak dapat diwujudkan adalah jawaban yang paling benar, bisa dibuktikan dari buku bacaan dan informasi yang ada di google. Menurut saya jawaban D. peluang terjadinya pertentangan antar partai semakin terbuka adalah jawaban salah, karena jawaban tersebut sudah melenceng dari apa yang ditanyakan. [irp] Menurut saya jawaban E. Semua jawaban benar adalah jawaban salah, karena setelah saya coba cari di google, jawaban ini lebih cocok untuk pertanyaan lain. Kesimpulan Dari penjelasan dan pembahasan serta pilihan diatas, saya bisa menyimpulkan bahwa jawaban yang paling benar adalah C. pemerintah yang stabil tidak dapat diwujudkan. [irp] Jika anda masih punya pertanyaan lain atau ingin menanyakan sesuatu bisa tulis di kolom kometar dibawah. Jakarta, IDN Times - Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki banyak partai politik multipartai di dalam sistem pemerintahannya, karena sesuai asas yang dianut Indonesia, yaitu politik bermunculan setelah runtuhnya Orde Baru, karena keran demokrasi seakan terbuka lebar usai dikunci rapat oleh rezim Soeharto. Reformasi menjadikan partai politik tumbuh subur di Tanah Pemilihan Umum KPU mencatat, sedikitnya ada 20 partai politik nasional dan empat partai lokal yang meramaikan pemilu serentak 2019. Lalu, apa sih untung dan ruginya jika Indonesia memiliki banyak partai? Baca Juga Biar Tetap Eksis, Partai Gelora Harus Rekrut Kader Militan PKS 1. Kelebihan banyak partai adalah masyarakat punya banyak pilihan menyerap aspirasinyaIDN Times/RochmanudinPengamat Politik Universitas Al-Azhar Ujang Komaruddin mengatakan, lahirnya sejumlah partai politik setelah reformasi, karena banyak aspirasi masyarakat yang tidak bisa diserap maksimal oleh partai yang telah eksis sebelumnya.“Ya karena masyarakat heterogen, akhirnya semua ingin berkuasa. Apa untungnya? ya masyarakat punya banyak pilihan. Banyak program-program yang disampaikan oleh banyak partai itu, sehingga masyarakat memiliki alternatif memilih partai mana yang terbaik,” kata Ujang saat dihubungi IDN Times, Senin 18/11.2. Kekurangan multi partai adalah banyak kepentingan dan konflikSusunan Wamen Kabinet Indonesia Maju IDN Times/Teatrika PutriNamun, Ujang mengatakan, lahirnya banyak partai baru sekarang ini tidak diimbangi dengan konsistensi partai dalam menjalankan program dam ideologinya di lapangan, sehingga lebih banyak dampak negatifnya.“Kekurangnnya terlalu banyak, politik menjadi gaduh, lalu banyak kepentingan, konflik dan intrik-intrik,” kata Banyak partai politik melahirkan politik transaksionalIlustrasi ANTARA FOTO/M Risyal HidayatMenurut Ujang banyak partai politik di Indonesia juga akhirnya melahirkan politik transaksional, yang tidak baik untuk keberlangsungan demokrasi.“Ya misalnya kayak kemarin, banyak partai koalisi Jokowi yang gaduh tidak kebagian jatah di kabinet. Akhirnya kan lahir opsi adanya wakil menteri, itu untuk akomodir partai yang belum kebagian jabatan seperti Hanura dan lain-lain,” kata dia, Indonesia harus belajar dari Amerika untuk mengelola partai yang banyakIlustrasi Gedung Putih Pexels/Aaron KittredgeUjang menuturkan, Indonesia seharus nya bisa mencontoh Amerika Serikat. Meskipun banyak partai yang eksis, namun hanya ada dua partai besar yang berkuasa, yaitu Partai Demokrat dan Republik.“Kita ini mirip-mirip Amerika lah negaranya, demokrasi lalu presidensial. Kita juga penduduknya banyak sama kayak Amerika. Kalau kita hampir semua partai besar. Nah, tentu tadi kekurangannya adalah ketika terjadi banyak kepentingan akan gaduh,” tutur dia. Baca Juga 3 Menteri Jokowi Ini Masih Menjabat Ketua Umum Partai Politik

sistem banyak partai sangat tidak menguntungkan bagi indonesia karena